Tentang
pikiran, saya tertarik pada perumpamaan Promod Batra, seorang penulis
management thoughts……
“Pikiran
kita seperti satu hektar tanah yang dapat kita tanami dengan bunga atau
ilalang. Sayangnya sudah menjadi sifat manusia untuk menumbuhkan ilalang. Jika
ia tidak berupaya menanam benih bahagianya sendiri. Dan seperti sebidang tanah,
jika tidak diolah, disemai, diberi air, diberi pupuk, dan disiangi seperti
seharusnya, maka yang kita peroleh pastilah ilalang !”
(Born To Win, 2004)
memaknai
ungkapan di atas, tentulah tidak mudah menghadirkan pikiran positif untuk
menjadi pegangan dalam menjalani permasalahan ke depan.
Tapi
pikiran juga harus senantiasa diprogram untuk dapat diarahkan pada jalurnya
yang benar.
Lama
saya menyimpan keinginan-keinginan dalam bentuk pikiran…bahkan sebagian telah
timbul tenggelam sebelum sempat di format.
Saya
tidak ingin kehilangan banyak mengenai motivasi yang harus saya bentuk
sendiri…sebagian pikiran harus saya tampilkan dalam bentuk Gambar,
paling tidak saya dapat terus melihat dan mengevaluasinya.
Kita
tidak dapat memilih tempat, waktu dan seseorang yang akan menjadi orang tua
kita – sulit juga membayangkan cara dan akhir perjalanan hidup yang kita
jalani.
Satu
hal yang pasti bahwa kita diciptakan oleh Tuhan yang sama – hal yang membuat
saya kadang harus melahirkan “ambisi” yang tinggi------
Dengan
keyakinan bahwa potensi kita akan muncul karena kesempatan. Membayangkan sebagai walikota
misalnya---------sebuah target yang harus saya buat untuk selalu menciptakan
hari yang berwarna terang…………
Namun
sesungguhnya menjadi pilihan adalah menumbuhkan bunga atau ilalang.
“Agriculture is the mother and nourishes of all other arts. When it is
well conducted, all other artsprosper.
When it is neglected, all other arts decline”. Pertanian adalah ibu dari
segala budaya. Jika pertanian berjalan dengan baik, maka budaya-budaya lainnya
akan tumbuh dengan baik pula, tetapimanakala sektor ini ditelantarkan, maka semua budaya lainnya akan
rusak.[Xenophon, filsuf dan
sejarawanYunani yang hidup 425 – 355
SM]
“There
is nothing more important than agriculture in governing people and serving the
Heaven”, Tidak adasuatu pun yang
lebih penting di dunia ini selain pertanian, jika ingin masuk surga. [Lao Tze _
600 SM]
Pendahuluan
Secara
luas telah diketahui bahwa pertanian memiliki sejarah yang sangat panjang.
dimulai sekitar 12.000 tahun yang lalu, Kegiatan budidaya tanaman dan hewan dilakukansendiri di beberapatempat, baik di Asia Barat, Asia Timur, Amerika Tengah, dan Selatan
Amerika. Kegiatan budidayamungkin juga
telah terjadi dilokasi lainnya,
meskipun bukti arkeologis yang meyakinkan belum ditemukan. Dalam proses budidaya,binatang, tanaman, dan lingkungan
dimanipulasi dengan berbagai cara untuk meningkatkan ketersediaan spesies dan
sifat-sifat yang diinginkan dari spesies tersebut. (Anderson. D dalamBurkhardt, 2005)
Hal
yang belum banyak diketahui adalah bahwa gagasan agama, politik, dan filosofis terhadap
pertanian dan lingkungan yang juga memiliki sejarah panjang. Diawali dalam
Alkitab Ibrani (Atau Perjanjian Lama), Allah menjanjikan anak-anak Israel
kelimpahan tanah dengan susu dan madu yang mengalir (Ul. 3:8; 15:4), Alkitab
juga melarang akuisisi pertanian kecil oleh pemilik tanah besar (Imamat 25:13,
sebagaimana dicatat dalam Spiegel
1991). Berabad-abad kemudian, filsuf Yunani Plato membahas pentingnya
merekonstruksi pertanian masa depan, dan muridnya Aristoteles mengomentari
pentingnya pencarian pengetahuan pertanian untuk "kehidupan yang lebih baik"
bagi individu dan masyarakat.Nilai
fundamentalpertaniansemakin menarik perhatian melalui pencerahan
pemikiranJohn Locke Thomas Jefferson,
yang menekankan pentingnya politik, ekonomi, dan filosofis tentang “tillers
of the soil” (Spiegel 1991). Di Amerika Serikat, masalah yang dihadapi oleh
petani menjadi fokus perhatian pada abad kesembilan belas, dan diwarisakan
hingga hari ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa kegiatan pertanian telah lama
menjadi perhatian yang mempertanyakan keterkaitannya dengan nilai-nilai,
prioritas, praktek, dan kebijakan.
[Awal
mula acara ‘parellau addampeng’ atas pelanggaran pantangan terhadap ikan Bungo]
K
eturunan Sumpabaka yang ada di Sulawesi Selatan tidak
saja dikenal karena prinsip hidupnya yang berpantang mengkomsumsi ikan bungo,
lebih dari itu keturunan Sumpabaka juga terkenal dengan keberaniannya dalam
menghadapi resiko kehidupan, berani mempertaruhkan jiwa raganya demi
mempertahankan hidup dan keberlanjutan generasinya. Hal ini telah menjadi
pegangan hidup yang memunculkan jiwa-jiwa petarung dalam berbagai kondisi dan
kesempatan.
Beberapamasa telah berlalu, keturunan Topanggalung
telah beranak pinak dan menjelajahi negeri-negeri lainnya mencari hikmah
kehidupan.TersebutlahLaboki yang merupakan anak dari Anre
Gurutta Lamallo serta cucu dari Janggo Mangolo yang merupakan anak
Petta Topanggalung,baru saja turun dari
proses meditasi (semedi) di Gunung Bawakaraeng.
Dahulu kala proses meditasi banyak dilakukan ditempat- tempat sepiuntuk
mendapatkan pegangan kehidupan. Para to manurung
juga diyakini memperoleh kesaktian dan berbagai harapannya melalui pendekatan
meditasi. Berbekal oring paru (periuk yang
terbuat dari tanah liat) serta pattafi baru (Pemisah
beras dengan gabah/kotoran), Laboki
melakukan pengorbanan senilai 40 ringgit untuk mendapatkan suatu anugerah dan
kekuatan hidupbagi
keturunannya. Adalah sikap keberanian/kesatria (to warani) yang
dimohonkan Laboki untuk diturunkan pada anak cucunya agar dapat memberi peranan
penting bagi kehidupan manusia.Baginya
‘De nelabu essoE ri tengngana bitaraE’ dan ‘Ta mate Tuo, Tanete ri manifi, tannia
kadona’(Ungkapan ini bermakna kematian
hanya terjadi karena ajalsertatiada hasil tanpa upaya)
Sumpang Buaya (mulut
buaya), adalah suatu kampung yang dipilih oleh Laboki untuk mengisi kehidupan
serta melanjutkan keturunannya.Nama
Sumpang Buaya sendiri adalah penamaan yang diberikan oleh orang-orang yang lalu
lalang di kampung tersebut, mereka merasakan perpaduan kekuatan dan magis yang
dimiliki masyarakat kampung Sumpang Buaya. Di kampung inilah Laboki berhasil
memperoleh keturunan yang mewarisi keberaniannya yaitu Toage’.Dimasa Toage’ inilah
Sumpang Buaya sangat dikenal, masyarakat Sumpang Buaya sering diminta untuk
menjadi pallawa aro (pengawal pribadi) bagi kerajaan-kerajaan yang
bertikai, dan Toage’
sangat dikenal pula dengan Paggera’na[bentakan).
Bentakan
yang dikeluarkan mampu
menjadikan keheningan karena tak satupun orang mampu bersuara, hingga Toage’ dapat
leluasa memberikan nasehat dalam suatu pertikaian.
Tidak heran kemudian keturunan Sumpabaka banyak memiliki kemampuan berbicara dalam
kedudukannya sebagai pemimpin yang disegani atau berperan memediasi suatu
pertikaian yang terjadi.
Setiap orang yang
melintasi wilayah Sumpang Buaya, merasa angker dan begitu terkesan dengan
kemampuan orang-orang Sumpang Buaya dalam menguasai penghuni sungai (to
risalo),
karena sepanjangkehidupannyasumpah nenek moyang mereka terpelihara untuk
tidak dilanggar.OrangSumpang Buaya sering dilibatkan untuk
pembangunan jembatan, karena yang memiliki
kekuatan menaklutkan sang to risalo adalah dari
keturunan mereka.
Hingga suatu waktu,
bermula dari melintasnya penjual ikan yang meneriakkan ikan Bungo di kampung
mereka, segenap masyarakat Sumpang Buaya merasa terusikkemudian serentak mengejar sang penjual ikan
untuk menghentikan teriakannya,Sang
penjual tunggang langgang keluar masuk hutan hingga selamat dari kejaran warga
kampung.Tapi kejadian ini kemudian
menjadi informasi pentingbagikalangan lainnya yang selama ini mengamati
perkembangan dankemasyuran masyarakat
Sumpang Buaya, bahwa ternyata terdapat hubungan sakral antara ikan bungo dan
penghuni Sumpang Buaya.Maka dengan
maksud membuktikan kebenaran yang ada,penduduk seberang desa kemudian mengundang
penduduk Sumpang Buaya untuk menghadiri pesta kampung yang harus ditempuh
melalui perjalanan melintasi sungai.Tanpa
merasa curiga dan sebagai
penghargaan atas undangan penduduk tetangga kampung berangkatlah rombongan
sebagai utusan Toage’
dengan suka cita.
Dalam acara yang berlangsung, masyarakat Sumpang
Buaya menikmati sajian penghuni kampung, tanpa disadari bahwa makanan yang
disantap adalah bajabu (abon) dari ikan Bungo yang memang telah
direncanakan. Walaupun demikian tidak semua rombongan langsung menikmatinya,
sebagian dari merekamerasakan keanehan
tertentu hingga setelah melihat sajian menjadi tidak berminat, yang lainnya
setelah menyelesaikan suapan dimulut langsung berhenti dan sebagian lagi meneruskan
makan hingga kenyang.
Selang
beberapa lama pestapun usai, setelah
berpamitan dan menghormat atas undangan yang telah diberikan,rombongan kemudian meninggalkan kampung
tetangga menggunakanpincara
(sarana penyeberangan sungai).Ketika pincara
yang mereka tumpangi telah berada di tengah sungai, tiba-tiba rombongan
didatangi sekelompok To risalo yang selama ini menjadi bagian
keteraturan hidup mereka, merasa didekati rombongan memberikan hormatnya, tapi
kemudian yang didapati adalah terjangan buas sang penguasa sungai yang telah
mengepung mereka, sebagian dari mereka mengalami gigitan disekujur tubuh,
beberapa diantara mereka malah hilang tanpa bekas, walaupun beberapa orang
lainnyajugaselamat tanpa luka sedikitpun.
Kejadian tersebut
menyebabkan penduduk Sumpang Buaya begitu terpukul, mereka tidak menyalahkan
tindakan penduduk kampungseberang, tapi
lantas menyadari ketidak hati-hatian mereka atas bencana yang mengancam.Diiringi rasa bersalah yang mendalam,
penduduk kemudian diperintahkan oleh Toage’ untuk
mempersiapkan upacara Parellau addampeng (permohonan maaf)terhadap para penguasa sungai. Segenap
penduduk mempersiapkan bahan-bahan upacara yang akan diturunkan dipermukaan
sungai berupa otti
leren
(pisang ambon),
tello (telur) dan
Sokko (ketan)yang diwadahi sebagai sesajen, harapan Toage’ bahwa jika
apa yang mereka persembahkan dapat diterima oleh penghuni sungai berarti
permohonan maaf mereka telah diterima dengan baik.
Satu per satusesajen dialirkan disungai, dan seketika para
to
risalo
melompat menyambutnya.Inilah kali
pertama ditentukan suatu bentuk permohonan maaf, untuk selanjutnya menjadi
pelajaran bagi segenap keturunannya untuk selalu berhati-hati dalam bersikap
dan mau mengakui kesalahannya. Selesai upacara, beberapa penduduk yang telah
hilang kemudian dikembalikan dalam keadaan utuh dan selamat, untuk menjadi
bagian dari bukti bahwa sumpah nenek moyang mereka adalah sesuatu yang sangat
sakral.
Setelah kejadian
tersebut Toage’
tidak lagi menamakan kampung mereka dengan Sumpang Buaya, mereka berusaha
menghilangkan kesan angker bagi orang-orang yang akan melewati kampung mereka.
Mereka menyepakati nama “Sumpabaka”walaupun tidak diketemukan adanya pohon baka (Sukun) di daerah tersebut.
Dan mereka menyebut keturunan mereka wawanna SumpabakaE (Keturunan
Sumpabaka), yang dicirikan sebagai komunitas yang terikat sumpah untuk tidak
mengkomsumsi ikan Bungo. [Diceritakan kembali oleh Junaedi Tjanring]
Renungan;
Keberanian tidak saja didasarkan pada kekuatan untuk
melewati segala tantangan, tetapi juga karena kerendahan hati untuk meminta
maaf atas kesalahan dan bertindak memperbaiki kesalahan.
Intropeksi atas kesalahan yang terjadi jauh lebih penting
dibanding mencari pembenaran, yang kemungkinan akan semakin menambah kesalahan
kita.