Senin, 21 November 2011

Puang Toage' dan Wawanna SumpabakaE


Cerita Rakyat Sulawesi Selatan [2]

Puang Toage’ dan Wawanna SumpabakaE
[Awal mula acara ‘parellau addampeng’ atas pelanggaran pantangan terhadap ikan Bungo]

K
eturunan Sumpabaka yang ada di Sulawesi Selatan tidak saja dikenal karena prinsip hidupnya yang berpantang mengkomsumsi ikan bungo, lebih dari itu keturunan Sumpabaka juga terkenal dengan keberaniannya dalam menghadapi resiko kehidupan, berani mempertaruhkan jiwa raganya demi mempertahankan hidup dan keberlanjutan generasinya. Hal ini telah menjadi pegangan hidup yang memunculkan jiwa-jiwa petarung dalam berbagai kondisi dan kesempatan.

Beberapa  masa telah berlalu, keturunan Topanggalung telah beranak pinak dan menjelajahi negeri-negeri lainnya mencari hikmah kehidupan.  Tersebutlah  Laboki yang merupakan anak dari Anre Gurutta Lamallo serta cucu dari Janggo Mangolo yang merupakan anak Petta Topanggalung,  baru saja turun dari proses meditasi (semedi) di Gunung Bawakaraeng. Dahulu kala proses meditasi banyak dilakukan ditempat- tempat sepi untuk mendapatkan pegangan kehidupan.  Para to manurung juga diyakini memperoleh kesaktian dan berbagai harapannya melalui pendekatan meditasi.  Berbekal oring paru (periuk yang terbuat dari tanah liat) serta pattafi baru (Pemisah beras dengan gabah/kotoran), Laboki melakukan pengorbanan senilai 40 ringgit untuk mendapatkan suatu anugerah dan kekuatan hidup bagi keturunannya. Adalah sikap keberanian/kesatria (to warani) yang dimohonkan Laboki untuk diturunkan pada anak cucunya agar dapat memberi peranan penting bagi kehidupan manusia.  Baginya ‘De nelabu essoE ri tengngana bitaraE’  dan ‘Ta mate Tuo, Tanete ri manifi, tannia kadona’  (Ungkapan ini bermakna kematian hanya terjadi karena ajal  serta  tiada hasil tanpa upaya) 

Sumpang Buaya (mulut buaya), adalah suatu kampung yang dipilih oleh Laboki untuk mengisi kehidupan serta melanjutkan keturunannya.  Nama Sumpang Buaya sendiri adalah penamaan yang diberikan oleh orang-orang yang lalu lalang di kampung tersebut, mereka merasakan perpaduan kekuatan dan magis yang dimiliki masyarakat kampung Sumpang Buaya. Di kampung inilah Laboki berhasil memperoleh keturunan yang mewarisi keberaniannya yaitu Toage’.  Dimasa Toage’ inilah Sumpang Buaya sangat dikenal, masyarakat Sumpang Buaya sering diminta untuk menjadi pallawa aro (pengawal pribadi) bagi kerajaan-kerajaan yang bertikai, dan Toage’ sangat dikenal pula dengan Paggera’na [bentakan). Bentakan yang dikeluarkan mampu menjadikan keheningan karena tak satupun orang mampu bersuara, hingga Toage’ dapat leluasa memberikan nasehat dalam suatu pertikaian. Tidak heran kemudian keturunan Sumpabaka banyak memiliki kemampuan berbicara dalam kedudukannya sebagai pemimpin yang disegani atau berperan memediasi suatu pertikaian yang terjadi.

Setiap orang yang melintasi wilayah Sumpang Buaya, merasa angker dan begitu terkesan dengan kemampuan orang-orang Sumpang Buaya dalam menguasai penghuni sungai (to risalo), karena sepanjang  kehidupannya  sumpah nenek moyang mereka terpelihara untuk tidak dilanggar.  Orang  Sumpang Buaya sering dilibatkan untuk pembangunan jembatan, karena yang memiliki kekuatan menaklutkan sang to risalo adalah dari keturunan mereka.

Hingga suatu waktu, bermula dari melintasnya penjual ikan yang meneriakkan ikan Bungo di kampung mereka, segenap masyarakat Sumpang Buaya merasa terusik  kemudian serentak mengejar sang penjual ikan untuk menghentikan teriakannya,  Sang penjual tunggang langgang keluar masuk hutan hingga selamat dari kejaran warga kampung.  Tapi kejadian ini kemudian menjadi informasi penting  bagi   kalangan lainnya yang selama ini mengamati perkembangan dan  kemasyuran masyarakat Sumpang Buaya, bahwa ternyata terdapat hubungan sakral antara ikan bungo dan penghuni Sumpang Buaya.  Maka dengan maksud membuktikan kebenaran yang ada,  penduduk seberang desa kemudian mengundang penduduk Sumpang Buaya untuk menghadiri pesta kampung yang harus ditempuh melalui perjalanan melintasi sungai.  Tanpa merasa curiga dan sebagai penghargaan atas undangan penduduk tetangga kampung berangkatlah rombongan sebagai utusan Toage’ dengan suka cita.

Dalam acara yang berlangsung, masyarakat Sumpang Buaya menikmati sajian penghuni kampung, tanpa disadari bahwa makanan yang disantap adalah bajabu (abon) dari ikan Bungo yang memang telah direncanakan. Walaupun demikian tidak semua rombongan langsung menikmatinya, sebagian dari mereka  merasakan keanehan tertentu hingga setelah melihat sajian menjadi tidak berminat, yang lainnya setelah menyelesaikan suapan dimulut langsung berhenti dan sebagian lagi meneruskan makan hingga kenyang. 

Selang beberapa lama pestapun usai, setelah berpamitan dan menghormat atas undangan yang telah diberikan,  rombongan kemudian meninggalkan kampung tetangga menggunakan  pincara (sarana penyeberangan sungai).  Ketika pincara yang mereka tumpangi telah berada di tengah sungai, tiba-tiba rombongan didatangi sekelompok To risalo yang selama ini menjadi bagian keteraturan hidup mereka, merasa didekati rombongan memberikan hormatnya, tapi kemudian yang didapati adalah terjangan buas sang penguasa sungai yang telah mengepung mereka, sebagian dari mereka mengalami gigitan disekujur tubuh, beberapa diantara mereka malah hilang tanpa bekas, walaupun beberapa orang lainnya  juga  selamat tanpa luka sedikitpun.

Kejadian tersebut menyebabkan penduduk Sumpang Buaya begitu terpukul, mereka tidak menyalahkan tindakan penduduk kampung  seberang, tapi lantas menyadari ketidak hati-hatian mereka atas bencana yang mengancam.  Diiringi rasa bersalah yang mendalam, penduduk kemudian diperintahkan oleh Toage’ untuk mempersiapkan upacara Parellau addampeng (permohonan maaf)   terhadap para penguasa sungai. Segenap penduduk mempersiapkan bahan-bahan upacara yang akan diturunkan dipermukaan sungai berupa otti leren (pisang ambon), tello (telur) dan Sokko (ketan) yang diwadahi sebagai sesajen, harapan Toage’ bahwa jika apa yang mereka persembahkan dapat diterima oleh penghuni sungai berarti permohonan maaf mereka telah diterima dengan baik.    

Satu per satu  sesajen dialirkan disungai, dan seketika para to risalo melompat menyambutnya.  Inilah kali pertama ditentukan suatu bentuk permohonan maaf, untuk selanjutnya menjadi pelajaran bagi segenap keturunannya untuk selalu berhati-hati dalam bersikap dan mau mengakui kesalahannya. Selesai upacara, beberapa penduduk yang telah hilang kemudian dikembalikan dalam keadaan utuh dan selamat, untuk menjadi bagian dari bukti bahwa sumpah nenek moyang mereka adalah sesuatu yang sangat sakral.

Setelah kejadian tersebut Toage’ tidak lagi menamakan kampung mereka dengan Sumpang Buaya, mereka berusaha menghilangkan kesan angker bagi orang-orang yang akan melewati kampung mereka. Mereka menyepakati nama “Sumpabaka  walaupun tidak diketemukan adanya pohon baka (Sukun) di daerah tersebut. Dan mereka menyebut keturunan mereka wawanna SumpabakaE (Keturunan Sumpabaka), yang dicirikan sebagai komunitas yang terikat sumpah untuk tidak mengkomsumsi ikan Bungo. [Diceritakan kembali oleh Junaedi Tjanring]


Renungan;
Keberanian tidak saja didasarkan pada kekuatan untuk melewati segala tantangan, tetapi juga karena kerendahan hati untuk meminta maaf atas kesalahan dan bertindak memperbaiki kesalahan.

Intropeksi atas kesalahan yang terjadi jauh lebih penting dibanding mencari pembenaran, yang kemungkinan akan semakin menambah kesalahan kita.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

aku juga orang wajo yang tidak boleh makan ikan bungo. aku percaya dengan hal itu karna q sendiri sdh pernah mengalaminya. padahal itu cuma bekas ikan bungo aja yang saya sentuh tp lupa cuci tangan dan akhir.a badan saya mulai gatal hingga bersisik seperti buaya. dan pada saat itu bapak dan keluarga lainn.a minta permohonan maaf di sungai dengan di iringi telur, pisang and sokko. setelah itu saya sembuh kembali. dari situ saya tidak pernah lagi pegang ikan bungo.