Cerita Rakyat Sulawesi Selatan
Sumpah Topanggalung
& Ketulusan Ikan Bungo
[Asal mula Keturunan
Sumpabaka tidak mengkomsusi ikan Bungo]
K
|
eturunan
Sumpabaka adalah salah satu komunitas masyarakat Sulawesi Selatan yang hingga
kini, masih tetap mempertahankan kearifan budaya terkait nilai warisan turun
temurun tentang ikan bungo.
Keturunan Sumpabaka secara umum memiliki pola kehidupan yang berdampingan
dengan alam, di mana selain mengelolanya, juga turut menjaga kelestariannya
yang secara tidak sengaja merupakan wujud kearifan lokal, salah satunya dengan
tidak mengkomsumsi ikan bungo. Cerita berikut merupakan asal mula Keturunan
Sumpabaka memelihara nilai dan keyakinannya untuk tidak mengkomsumsi ikan
bungo, yang sekaligus menjadi pandangan yang terbawa dalam kehidupannya.
Cerita ini
bermula di suatu negeri yang
berkehidupan tenang, dimana Lacapen sebagai Arung
Amparita hidup berkuasa dengan penuh kearifan berlandaskan
cinta dari rakyatnya. Lacapen memiliki dua
orang anak, seorang putra yang diberi nama Topanggalung dan adiknya
seorang putri yang bernama Becce Koro. Topanggalung sangat menyayangi
adiknya Becce Koro. Mereka berkembang dalam kehidupan yang damai dan penuh
kasih sayang, diasuh orang-orang
istana. Topanggalung tumbuh sebagai pemuda yang tangkas dan memiliki keberanian
yang luar biasa. Hal ini
menimbulkan rasa segan yang diiringi rasa hormat dan tunduk pada
kebesaran Toppanggalung, sehingga tak seorangpun pemuda kampung yang berani untuk
mengganggu Becce Koro adiknya, walaupun Becce Koro juga telah tumbuh menjadi
gadis yang rupawan. Para pemuda kampung
sangat memahami kedudukan mereka dan menjadikan sebagai anutan yang harus
mereka lindungi.
Hingga
tibalah masanya, saat
diumumkan akan adanya upacara. “Sebagaimana adat yang
berlaku maka pada usianya kini, Becce Koro putriku tiba saatnya untuk diupacarakan, diperlihatkan pada penghuni
negeri sebagai gadis yang telah tumbuh dan menjadi bagian dari kejayaan hidup
istana. Untuk itu pada semua penduduk negeri aku mohonkan kerelaan kalian untuk
turut bersama-sama
terlibat dalam persiapan upacara”. Demikian
Arung Amparita bertihta, dan seketika segenap
rakyat dengan penuh suka cita menjadi begitu bersemangat untuk mewujudkan apa
yang dititahkan,
sebagai wujud rasa syukur atas
kemakmuran yang telah dicapai.
Menjelang
pelaksanaan upacara yang dipersiapkan selama
tujuh hari tujuh malam, persiapan besarpun dilakukan. Panji-panji lambang
kebesaran negeri di tata mulai dari alun-alun sampai ke batas negeri, seluruh
penghuni negeri tua-muda, perempuan dan laki-laki larut dalam kegembiraan
menyambut upacara. Tidak terdengar keluh
kesah ataupun rasa malas yang menunjukkan ketidakpatuhan, semua merasa ikhlas
tunduk menghargai kebijakan Arung
Amparita.
Namun tidak ada yang
tahu dan menyadari bahwa jauh di bawah
permukaan air (sungai) terdapat suatu kegiatan lainnya. Air
sungai yang tenang ternyata
menyimpan kesibukan yang sama.
Tersebutlah kerajaan To risalo (buaya berjari-jari lima yang dipercaya merupakaan jelmaan manusia) sebagai penguasa
sungai turut mempersiapkan upacara meriah bagi sang putri. Para To risalo
bermaksud mengupacarakan sang putri di kerajaan mereka sebagai salah satu
bentuk kecintaan mereka pada penguasa yang selama ini turut memberinya
kehidupan dan kedamaian. Telah menjadi
kelaziman pada saat itu bahwa setiap penguasa juga memiliki hubungan saling
memberi dan menerima dengan seluruh penghuni alam, terdapat proses saling
membutuhkan dan melindungi yang cukup akrab diantara mereka. Hal ini ditandai
dengan adanya aturan kerajaan yang melarang pemanfaatan isi sungai secara
berlebihan dan tetap merawatnya secara baik, kesinambungan harus selalu dijaga
dan dihargai sebagai jalan mempertahankan hidup. Para penghuni sungai juga wajib
untuk tidak mengganggu penduduk desa dimana segala bentuk pelanggaran memiliki
bentuk hukuman yang disepakati oleh kerajaan dan penduduk desa.
Keterikatan yang menyebabkan adanya hubungan timbal balik dalam suatu lingkungan, diikuti
dengan
berbagai perasaan seperti cinta, hormat,
bakti akan tetapi juga takut atau campuran dari perasaan tersebut.
Di
hari dimana waktu upacara telah ditentukan, saat langit masih berselimut
gelap dan para penghuni negeri sebagian
masih terlelap. Kicauan
burung yang bersahutan dengan suara kokok ayam
nampaknya membenamkannya dalam tidur. Bayangan sekelompok To risalo yang
telah mempersiapkan rencana penjemputan terhadap sang putri mulai
merangkak menuju istana, mereka bergerak layaknya manusia yang akan bertamu
pada seseorang..
Tanpa banyak
kesulitan para To ri salo
akhirnya berhasil membawa sang putri
secara bersama-sama ke hulu sungai, sementara sang putri hanya menyadari
dirinya dijemput untuk upacara yang telah dipersiapkan. Sang putri dibawa menuju ke kerajaan To risalo diiringi kegembiraan para penghuni sungai.
Berbagai jenis ikan turut bersorak menyaksikan kecantikan sang putri, sementara
itu tanpa rasa canggung sang putri menikmati perjalanannya di dunia lain yang
tak pernah terbayangkan. Tak pernah
terpikirkan olehnya suatu bentuk kehidupan yang teratur di dasar sungai. Para penghuni sungai layaknya suatu
pemerintahan manusia yang memiliki fungsi masing-masing, ada pengawal,
penasehat serta rakyat yang sangat patuh
terhadap kepemimpinan To risalo.
Sang putri dituntun
menuju singgasana yang telah dipersiapkan sebagai tempat upacara dimana para
penghuni laut diberi kesempatan memberikan penghormatan. Betapa takjubnya sang
putri menerima penghargaan tersebut, berjenis-jenis ikan mulai yang besar
hingga yang paling kecil silih berganti bergerak mendekati kaki dan jemari sang
putri dan dengan penuh kasih sang putri balas membelai para pengagumnya.
Berbeda dengan
keceriaan .para penghuni sungai, di kerajaan Lacapen terjadi kepanikan yang
luar biasa. Arung Amparita sungguh-sungguh tidak dapat menyembunyikan
kemarahannya. Para penghuni negeri diperintahkan mencari kemana dan apa penyebab
hilangnya sang putri. Para pengawalpun telah diutus mencari dan menelusuri
jejak yang mungkin ada. Sementara itu
Toppanggalung tak kalah gusarnya, diambilnya pedang kerajaan dan dengan menaiki kudanya
mengelilingi seluruh negeri mencari adik kesayangannya. Toh, segenap usaha yang dilakukan sia-sia, tak
satupun tanda yang dapat dijadikan petunjuk hilangnya sang putri.
Penasehat kerajaaan
akhirnya menyarankan mencari tahu kemungkinan hilangnya sang putri melalui orang pintar, hingga akhirnya diperoleh suatu kesimpulan bahwa sang putri telah
digiring penguasa sungai menuju kerajaannya.
Seketika meledaklah amarah
Topanggalung dan dengan segenap kemampuan dan kekuatannya sebagai seorang ksatria
diangkatnya pedang sambil berkata “ Ini
adalah bentuk penghinaan sekaligus penghianatan yang harus dibalas setimpal,
sungguh aku tak merelakan adikku diperlakukan demikian tanpa izin penguasa
negeri dan rakyatku, maka pedang ini akan membuat mereka binasa sampai adikku
dapat kubawa kembali”. Dengan hati yang gusar dalam perjalanannya menelusuri sungai,
pedang Topanggalung tak berhenti menghantamkan
pedangnya ke
penghuni sungai. Para buaya yang terkenal ganas
dikumpulkan dan dijejer satu per satu untuk di tanyai, dan ketika tak
menemukan jawaban tentang keberadaan
Becce Koro adiknya, maka buaya – buaya itupun menjemput kematiannya.
Akibat kekacauaan yang
terjadi, para penghuni sungai mencari selamat, mereka berlari menjauh
meninggalkan daerah kekuasaan Topanggalung menghindari maut. Namun amarah
Topanggalung sudah tak terbendung, sepanjang sungai yang dilaluinya
menjadi arena maut bagi penghuninya. Dan
pada akhirnya ketika berada di sungai yang berhubungan dengan Teluk Bone,
melalui perwaliannya To risalo
menemui Toppanggalung “ Wahai tuanku, kami telah khilaf atas kegembiraan kami,
berhentilah membunuhi para penghuni sungai, kami berjanji akan mengembalikan
Putri Becce Koro ke hadapan tuanku” pintanya.
Topanggalung dengan menahan amarahnya memberi kesempatan pada To
risalo “ ini adalah kesempatanmu,
maka kembalikanlah adikku
atau seluruh penghuni sungai takkan mendapatkan kebebasan” ancamnya.
Maka turunlah utusan To risalo mejemput sang putri untuk dapat
dikembalikan ke daratan.
Sementara didasar
sungai terjadi ketakutan yang luar biasa, walaupun telah ada kesepakatan
penguasa sungai untuk mengembalikan sang putri akan tetapi para penghuni sungai
tak memiliki keberanian untuk mengantarkan sang putri sampai kehadapan
Topanggalung, ada keraguan akan terjadinya kemungkinan terburuk akibat
kemarahan Topanggalung, setelah menyaksikan
bagaimana keganasan Topanggalung telah menghabisi
para penghuni sungai
yang didapatinya.
Setelah persidangan
penguasa sungai berlangsung tanpa hasil,
tiba-tiba ikan Bungo memberi kepastian bahwa mereka akan melakukan tugas
pengembalian putri, “Baiklah tugas ini memang penuh resiko, namun
demi ketentraman penghuni sungai, kami akan melakukan pengembalian sang putri,
semoga semua berjalan lancar”. Perkataan ikan Bungo ini melegakan penghuni
sungai, sekaligus mengharapkan keputusan ini tidak menjadi bencana bagi ikan
Bungo sendiri.
Persiapan pemulangan
dilakukan dengan terlebih dahulu membalut tubuh sang putri dengan kerumunan
ikan Bungo, dan dengan satu komando mereka bergerak menuju permukaan
menemui Topanggalung. Di permukaan sungai Topanggalung menantikan
kedatangan Becce Koro adik kesayangannya,
dan ketika sekumpulan ikan Bungo menampakkan diri bersamaan dengan
pemunculan sang putri, wajah Topanggalung berubah senang. Dan dengan sikap kesatria spontan
didekatkannya pandangan pada ikan Bungo dan dengan penuh hormat dielusnya ikan Bungo, “ Hari ini telah
kalian kembalikan martabat dan
kedaulatan rakyat dan negeriku, maka aku sungguh gembira kalian melakukannya,
hari ini kupersaksikan pada langit dan bumi takkan ada dari keturunanku yang
akan mencelakaimu. Kelak pun kalian
terjaga, dimana apabila diantara anak cucuku ada yang menyentuh, menyakiti
apalagi sampai memakan, maka mereka akan mendapat balasan yang setimpal dari
para To risalo “. Setelah mendengarkan sumpah Topanggalung,, ikan Bungo
menghormat meninggalkan Toppanggalung dan Becce Koro. Tak henti-hentinya ikan bungo
bersyukur atas apa yang didengarnya, setidaknya mereka mendapatkan keyakinan
bahwa setiap kebaikan akan mendapat balasannya, hal yang sama jika mereka
melakukan sebaliknya dan hubungan ini bisa muncul pada wujud-wujud yang tidak
selalu harus sama.
Pada pekembangan
selanjutnya, keturunan Topanggalung yang salah satunya bermukim di Sumpabaka
(salah satu dusun di Kecamatan Sabbangparu Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan)
hingga kini masih menjaga sumpah leluhurnya, yang diyakini sebagai warisan
nilai yang menjelaskan keterkaitan alam dan manusia, dengan tidak mengkomsumsi
ikan Bungo (Ikan Beloso). Ikan ini walaupun telah berkurang, tapi masih dapat
dijumpai di Danau Tempe, (danau yang
termasuk wilayah bagian Kabupaten Wajo, Soppeng dan Sidrap di Sulawesi Selatan). [Diceritakan
kembali oleh Junaedi Tjanring].
Renungan;
Bantuan yang pernah
diberikan kepada kita pada saat menghadapi masa-masa sulit, sebaiknya terus diingat
dan dihormati.
Kearifan Lokal;
Keberlanjutan Ikan
bungo akan terus terjaga, keseimbangan alami dapat terjadi karena adanya komunitas yang membatasi jumlah komsumsinya.
2 komentar:
berbeda dengan versi KKSP (keluarga kerukunan SUMPABAKA)
klo boleh tahu sumbernya dari mana...
@Haryanto; awalnya adlh karya tulis ilmiah penulis tahun 1990. Ditulis ulang dlm versi cerita rakyat utk Group fb WIDJA-WIDJA SAORADJAN AMPARITA. Slh satu nara sumbernya Alm. H. MAssalinring [Lontara yg dibacakan]..tksh
Posting Komentar