Rabu, 03 Agustus 2011

Perkebunan Teh ‘Tergadai’ di Malino



Malino, Sulawesi Selatan
Selepas melewati jalanan poros Sungguminasa – Malino, harapan saya mendapatkan jalan yang mulus dan bebas debu ternyata tinggal harapan……….jalanan telah berubah total – (rusak parah !)… padahal jalanan ini merupakan akses yang paling mudah menuju ‘Kota Kembang’ Malino.  Disisinya Bendungan Bili-Bili nampak merana, tak kuat menahan desakan lumpur bekas lonsoran kaki Gunung Bawakaraeng, airnya yang keruh sama sekali tak mengundang selera sekadar menatapnya.

Pagi ini harusnya saya sudah menikmati indahnya perkebunan teh, di Pegunungan Malino. Menyaksikan pucuk-pucuk teh dan kelihaian jemari-jemari para wanita pemetiknya yang berkerudung sarung. Umumnya daun-daun pucuk tanaman teh dipetik selang 7 hingga 14 hari, dan dipangkas untuk mempertahankan tinggi tanaman sekitar 1 meter, padahal tanaman ini dapat tumbuh mencapai 6 – 9 meter. Kegiatan pemetikan teh hanya dapat disaksikan di pagi hari, karena pucuk teh segar hasil petikan segera akan dimasukkan ke pabrik pengolahan untuk menghasilkan kualitas teh bermutu tinggi. Rangkaian kegiatan inilah yang mendorong saya membawa mahasiswa  untuk melihat secara langsung tahapan aktivitas pemeliharaan sekaligus membuat ulasan tentang manajemen perkebunan yang dikelola PT. Malino Teh ini.

Pada awalnya, perkebunan yang dikuasai oleh pengusaha Jepang ini bernama PT. Nittoh Teh,didirikan pada tanggal 24 Agustus 1986. Merupakan salah satu objek wisata Malino yang digemari karena hamparan hijaunya yang cantik dan memukau. Perkebunan yang memiliki pertanaman seluas 132 hektar ini mampu menghasilkan produksi sebesar 7 - 10 ton per hektar, hasilnya kemudian akan melewati proses pabrikasi pada lahan seluas 5 ha  guna memperoleh hasil olahan teh hitam dan teh hijau dengan mutu tinggi.

Setelah berkelok-kelok diantara tegaknya pinus-pinus, saya memasuki Desa Patappang, lokasi perkebunan teh yang dituju. Suhu udara di lokasi ini sekitar 19 – 21 derajat Celcius, berada di ketinggian 1.500 hingga 1.600 meter dari permukaan laut, lokasi yang memang dipersyaratkan untuk budidaya tanaman teh.

Ketika berada di areal perkebunan, melewati pos jaga nampak beberapa bangunan yang merupakan kantor manajemen, mess karyawan dan pabrik. Nampak dikejauhan sejauh mata memandang hamparan hijau, yang ditata melewati perbukitan dan jalan-jalan yang ditata apik mengikuti lereng dan kontur. Namun yang mengherankan, tak satupun mata kami bisa melihat noktah yang bergerak menjawab kerinduan kami pada tarian para wanita pemetik teh, dan saat ini pun hanya ada satu orang karyawan yang menerima kedatangan kami, yang sekaligus berperan sebagai pemandu.

Sejurus kemudian meluncurlah cerita pahit kondisi perkebunan teh, yang sahamnya merupakan 100 persen berasal dari Modal Asing itu. “Dua bulan lalu pihak direksi telah merumahkan semua karyawannya’’ sang pemandu mulai bercerita, “perusahaan kesulitan mendapatkan pasaran untuk produksi teh yang dihasilkan, sehingga keseluruhan biaya operasional hanya membebani keuangan perusahaan dan tidak sebanding dengan uang yang dihasilkan dari penjualan, perusahaan benar-benar merugi bahkan untuk itu dengan terpaksa memberikan pesangon mencapai lima milyar rupiah untuk tidak mencegah akses dari dirumahkannya para karyawan” jelasnya.


PT. Nittoh Teh ternyata sejak tanggal 31 maret 2006 telah berpindah manajemen,   perusahaan ini berpindah tangan ke pengusaha Singapura. Pengusaha Singapura ini pula yang kemudian mengganti nama perusahaan menjadi PT. Malino Teh….Ironis memang, diantara lahan-lahan yang dianggap potensial ini, yang keberadaannya mampu menjadi tumpuan bagi sebagian besar masyarakat desa sekitarnya, kondisinya kini hanya berupa tatanan tanaman tak bernilai. Jika teh yang dihasilkan dianggap tak lagi memenuhi  selera penikmat teh dunia, mestikah perusahaan ini hanya menyerah pada kondisi yang dihadapi ?

Tentunya karena perusahaan ini meletakkan kakinya di Bumi Nusantara, maka selayaknya persoalan ini menjadi ‘kicauan’ anak bangsa. Bukan karena Government nya tak punya selembar saham, kemudian ini terabaikan. Tapi, karena di perkebunan ini lahir cita rasa Indonesia….ataukah sebuah alamat lagi, bahwa Malino tak lagi indah dan memang tanah kitapun betul-betul ‘tergadai’.

Tidak ada komentar: